Deru
suara metromini,
masih
berdengung dalam ruang tingkap di dalam telingaku
Aku
dan beberapa penumpang
duduk
dengan arah pikiran masing-masing
Pucat,
keringat, penat
Kami
semua tercengang memandang kondektur metromini
Sangat
pintar bicaranya,
Bicara
logat preman terminal
Tubuhnya
besar, bahkan lebih lebar dari tubuhku
Tidak
tinggi, sebahuku...
Kaos
hitam yang dikenakan, semakin menutupi keasliannya
Usianya
tujuh tahun lebih muda dariku
Tunggu!
Apa yang dikerjakan anak itu di waktu
belajar?
Bertransaksi,
mentujuh kali lipatkan tarif satu jalan pada malam itu
Sangat
menyebalkan, seperti ulah preman pasar yang semena-mena
Aku
bergumam sendiri,
Siapa
yang mengajarkannya?
Apakah
gurunya di sekolah?
Atau
ayahnya, kawannya? Atau siapa?
Guru
tidak akan mendidik siswanya menjadi preman!
menurut
yang pernah kudengar seperti itu
Ayah?
Ah masa, seorang ayah ... Tidak mungkin!
Kawannya?
Mungkin saja iya, tapi kawannya itu, siapa pula yang mengajarkan?
Kubuang
pelan, semua pemikiran buruk itu
Kubiarkan
prasangkaku terhempas bersama angin malam
dari
jendela yang banyak butir-butir bening
Wanita
diseberangku mengajaknya bicara,
Kupasang
kuping, meskipun tak terdengar jelas
Benar..
dia tidak bersekolah, bekerja bersama ayahnya
Ketika
anak lain menikmati gembar-gembor dana subsidi pendidikan
Dia
asyik berkutat dengan dolanannya
yang
lebih mirp dolanan orang limabelas
tahun lebih tua darinya
semuda
itu? Mencari uang? Lilitan ekonomi
aku
tak menjamin, apa aku sudah bisa?
Sekadar
mendapatkan ongkos jasa untuk metromini malam itu pun, belum tentu ku bisa mencarinya
DENGAN KERINGATKU SENDIRI!
Hei!
Apa hanya dia satu-satunya?
Apa
ada yag lain?
Atau
masih banyak?
Jikalau
masih banyak,
Apa
anak-anak itu tidak lelah?
Bagi
komunitas mereka lelah, MUNGKIN SUDAH BIASA?
Inikah
salah satu pertanda?
Semakin bobroknya sistem di
negeri ini?