Jumat, 20 September 2013

Atau Mungkin Sudah Biasa?


Deru suara metromini,
masih berdengung dalam ruang tingkap di dalam telingaku
Aku dan beberapa penumpang
duduk dengan arah pikiran masing-masing
Pucat, keringat, penat

Kami semua tercengang memandang kondektur metromini
Sangat pintar bicaranya,
Bicara logat preman terminal
Tubuhnya besar, bahkan lebih lebar dari tubuhku
Tidak tinggi, sebahuku...
Kaos hitam yang dikenakan, semakin menutupi keasliannya

Usianya tujuh tahun lebih muda dariku
Tunggu! Apa yang dikerjakan anak itu di waktu belajar?
Bertransaksi, mentujuh kali lipatkan tarif satu jalan pada malam itu
Sangat menyebalkan, seperti ulah preman pasar yang semena-mena
Aku bergumam sendiri,
Siapa yang mengajarkannya?
Apakah gurunya di sekolah?
Atau ayahnya, kawannya? Atau siapa?
Guru tidak akan mendidik siswanya menjadi preman!
menurut yang pernah kudengar seperti itu
Ayah? Ah masa, seorang ayah ... Tidak mungkin!
Kawannya? Mungkin saja iya, tapi kawannya itu, siapa pula yang mengajarkan?
Kubuang pelan, semua pemikiran buruk itu
Kubiarkan prasangkaku terhempas bersama angin malam
dari jendela yang banyak butir-butir bening

Wanita diseberangku mengajaknya bicara,
Kupasang kuping, meskipun tak terdengar jelas
Benar.. dia tidak bersekolah, bekerja bersama ayahnya
Ketika anak lain menikmati gembar-gembor dana subsidi pendidikan
Dia asyik berkutat dengan dolanannya
yang lebih mirp dolanan orang limabelas tahun lebih tua darinya
semuda itu? Mencari uang? Lilitan ekonomi
aku tak menjamin, apa aku sudah bisa?
Sekadar mendapatkan ongkos jasa untuk metromini malam itu pun, belum tentu ku bisa mencarinya
DENGAN KERINGATKU SENDIRI!

Hei! Apa hanya dia satu-satunya?
Apa ada yag lain?
Atau masih banyak?
Jikalau masih banyak,
Apa anak-anak itu tidak lelah?
Bagi komunitas mereka lelah, MUNGKIN SUDAH BIASA?

Inikah salah satu pertanda?
                   Semakin bobroknya sistem di negeri ini?

Sebuah Kisah di Tengah Penantian Mata Bola


Bertahan di tempat itu menunggu datangnya si mata bola

Sepasang mata yang sorotnya tajam, terlain di hari petang
Sepasang mata yang sorotnya menembus rintik-rintik air kehidupan
Sepasang mata yang sorotnya harus nampak pula pada siang hari
Sepasang mata yang terkadang nakal tak mau mendelik ketika siang datang

“Mba... lenggah mriki... ngaub...”
terdengar suara lirih dari balik gerobak bertuliskan
MARTABAK MANIS, MARTABAK TELOR
Nafas terhempas setelah menjatuhkan
tubuh ringkih ini pada bangku kayu kumal
Gelap, basah, dingin
Kupandang langit-langit ruko diatasku
Terlihat indah...
Air hujan jatuh berentet, mirip serbuk bunga dendalion
Menari dibawah kilauan lampu penerangan jalan

Tercium bau yang menggoyangkan dinding-dinding lambung
menimbulkan bunyi, pertanda dia butuh asupan
Jlantah martabak telur, aromanya menggiurkan...

Seorang tua yang ketika itu berdiri di tempat itu,
Menimbulkan simpatik tersendiri bagi orang yang melintas
“Kondur pundi Mba?” muncul pertanyaan
“Bocari, Pak.”
Jawaban yang sama,
untuk pertanyaan yang sama,
dari orang yang sama pula
Mungkin beliau lalai, dengan euforia itu
Tapi satu hal yang aku soroti, beliau tidak akan lupa untuk tunaikan kewajiban

Pernah sesekali kulihat, masih berada di sudut yang sama
Ketika tak ada satupun pembeli yang melik dengan dagangannya
Taukah kau, apa pegangan beliau?
Sebuah buku, wara kertasnya yang kecokelatan menandakan itu buku tua
Kutengarai itu adalah kitab buta, tanpa swara

Mimiknya yang penuh kepasrahan
Semakin membuatku tertegun
Ku dera, dalam hati beliau berkata
“Yang penting rezekine halal, sepiraha ya ora papa..

Bertahan hidup  memang susah, sulit, dan rumit
Akan lebih rumit ketika kita hidup tak dapat apa-apa
Dunia belum seberapa, akhiratlah tujuan hidup

Aku semakin merasa,
“Tuhan begitu jauh aku denganmu, ditengah semua kerumitan ini”

“Pemalang... Pemalang...”
Aku tersadar dari simphoni khayalku
Si mata bola telah datang,
siap untuk menghantar penumpang-penumpang malam

Delapan Belas Mei Berujung Gerimis

Langkah ku tertatih dari arah barat jalan MT Haryono
Terdengar sedikit decitan dari persendian putarku,
 yang nampaknya hanya aku yang bisa mendengarnya saat itu
Naluri menghentikan langkahku di depan pos kecil berwarna putih biru
Pos yang dari baliknya kadang terdengar nyaring suara peluit
Aku yang hanya sendiri, berdiri menatap ke arah kanan dan kiriku
Alam sekitarku sudah gelap,
Iya aku menyadarinya
Pundakku serasa sudah sangat ngilu
Kelopak mata menjadi terasa sangat berat
Tas jinjing di tangan kananku naik turun
Nampaknya tanganku sudah merasa berputus asa
untuk membawa tempat perkakas itu
bercak bulat memenuhi jaket merah jambuku
merubah warnanya menjadi sedikit marun
merasa banyak embun yang berjatuhan, tapi aku rasa ini lebih kasar
gerimis...
Ya... itu adalah gerimis,
Gerimis di bulan Mei di petang delapan belas

Asha Lestari (18/05/12)