Delapan
Belas Mei Berujung Gerimis
Oleh : Asha Lestari (18/05/12)
Langkah
ku tertatih dari arah barat jalan MT Haryono
Terdengar
sedikit decitan dari persendian putarku,
yang nampaknya hanya aku yang bisa
mendengarnya saat itu
Naluri
menghentikan langkahku di depan pos kecil berwarna putih biru
Pos
yang dari baliknya kadang terdengar nyaring suara peluit
Aku
yang hanya sendiri, berdiri menatap ke arah kanan dan kiriku
Alam
sekitarku sudah gelap,
Iya
aku menyadarinya
Pundakku
serasa sudah sangat ngilu
Kelopak
mata menjadi terasa sangat berat
Tas
jinjing di tangan kananku naik turun
Nampaknya
tanganku sudah merasa berputus asa
untuk
membawa tempat perkakas itu
bercak
bulat memenuhi jaket merah jambuku
merubah
warnanya menjadi sedikit marun
merasa
banyak embun yang berjatuhan, tapi aku rasa ini lebih kasar
gerimis...
Ya...
itu adalah gerimis,
Gerimis
di bulan Mei di petang delapan belas
Sebuah
Kisah di Tengah Penantian Mata Bola
Oleh : Asha Lestari (18/05/12)
Bertahan
di tempat itu menunggu datangnya si mata bola
Sepasang
mata yang sorotnya tajam, terlain di hari petang
Sepasang
mata yang sorotnya menembus rintik-rintik air kehidupan
Sepasang
mata yang sorotnya harus nampak pula pada siang hari
Sepasang
mata yang terkadang nakal tak mau mendelik ketika siang datang
“Mba...
lenggah mriki... ngaub...”
terdengar
suara lirih dari balik gerobak bertuliskan
MARTABAK
MANIS, MARTABAK TELOR
Nafas
terhempas setelah menjatuhkan
tubuh
ringkih ini pada bangku kayu kumal
Gelap,
basah, dingin
Kupandang
langit-langit ruko diatasku
Terlihat
indah...
Air
hujan jatuh berentet, mirip serbuk bunga dendalion
Menari
dibawah kilauan lampu penerangan jalan
Tercium
bau yang menggoyangkan dinding-dinding lambung
menimbulkan
bunyi, pertanda dia butuh asupan
Jlantah
martabak telur, aromanya menggiurkan...
Seorang
tua yang ketika itu berdiri di tempat itu,
Menimbulkan
simpatik tersendiri bagi orang yang melintas
“Kondur
pundi Mba?” muncul pertanyaan
“Bocari,
Pak.”
Jawaban
yang sama,
untuk
pertanyaan yang sama,
dari
orang yang sama pula
Mungkin
beliau lalai, dengan euforia itu
Tapi
satu hal yang aku soroti, beliau tidak akan lupa untuk tunaikan kewajiban
Pernah
sesekali kulihat, masih berada di sudut yang sama
Ketika
tak ada satupun pembeli yang melik
dengan dagangannya
Taukah
kau, apa pegangan beliau?
Sebuah
buku, wara kertasnya yang kecokelatan menandakan itu buku tua
Kutengarai
itu adalah kitab buta, tanpa swara
Mimiknya
yang penuh kepasrahan
Semakin
membuatku tertegun
Ku
dera, dalam hati beliau berkata
“Yang
penting rezekine halal, sepiraha ya ora
papa..”
Bertahan
hidup memang susah, sulit, dan rumit
Akan
lebih rumit ketika kita hidup tak dapat apa-apa
Dunia
belum seberapa, akhiratlah tujuan hidup
Aku
semakin merasa,
“Tuhan
begitu jauh aku denganmu, ditengah semua kerumitan ini”
“Pemalang...
Pemalang...”
Aku
tersadar dari simphoni khayalku
Si
mata bola telah datang,
siap
untuk menghantar penumpang-penumpang malam
Atau Mungkin Sudah Biasa?
Asha Lestari (18/05/12)
Deru
suara metromini,
masih
berdengung dalam ruang tingkap di dalam telingaku
Aku
dan beberapa penumpang
duduk
dengan arah pikiran masing-masing
Pucat,
keringat, penat
Kami
semua tercengang memandang kondektur metromini
Sangat
pintar bicaranya,
Bicara
logat preman terminal
Tubuhnya
besar, bahkan lebih lebar dari tubuhku
Tidak
tinggi, sebahuku...
Kaos
hitam yang dikenakan, semakin menutupi keasliannya
Usianya
tujuh tahun lebih muda dariku
Tunggu!
Apa yang dikerjakan anak itu di waktu
belajar?
Bertransaksi,
mentujuh kali lipatkan tarif satu jalan pada malam itu
Sangat
menyebalkan, seperti ulah preman pasar yang semena-mena
Aku
bergumam sendiri,
Siapa
yang mengajarkannya?
Apakah
gurunya di sekolah?
Atau
ayahnya, kawannya? Atau siapa?
Guru
tidak akan mendidik siswanya menjadi preman!
menurut
yang pernah kudengar seperti itu
Ayah?
Ah masa, seorang ayah ... Tidak mungkin!
Kawannya?
Mungkin saja iya, tapi kawannya itu, siapa pula yang mengajarkan?
Kubuang
pelan, semua pemikiran buruk itu
Kubiarkan
prasangkaku terhempas bersama angin malam
dari
jendela yang banyak butir-butir bening
Wanita
diseberangku mengajaknya bicara,
Kupasang
kuping, meskipun tak terdengar jelas
Benar..
dia tidak bersekolah, bekerja bersama ayahnya
Ketika
anak lain menikmati gembar-gembor dana subsidi pendidikan
Dia
asyik berkutat dengan dolanannya
yang
lebih mirp dolanan orang limabelas
tahun lebih tua darinya
semuda
itu? Mencari uang? Lilitan ekonomi
aku
tak menjamin, apa aku sudah bisa?
Sekadar
mendapatkan ongkos jasa untuk metromini malam itu
Hei!
Apa hanya dia satu-satunya?
Apa
ada yag lain?
Atau
masih banyak?
Jikalau
masih banyak,
Apa
anak-anak itu tidak lelah?
Bagi
komunitas mereka lelah, MUNGKIN SUDAH BIASA?
Inikah
salah satu pertanda?
Semakin
bobroknya sistem di negeri ini?
Di
Atas Tiga Roda
Oleh
: Asha Lestari (20/05/12)
“Piim... piim...
piim...
Piim... piim...
piim...”
Klakson bernada “F”
itu terus saja berbunyi
memekik telinga
pengguna jalan
“Woi! Punya mata ngga
si?”
Umpatan-umpatan kasar,
keluar dari balik mobil
yang
dirasa mewah itu
Pak becak yang tengah
berusaha mengendalikan becaknya
Tersentak dan nampak
menahan ngilu karena becaknya begitu berat
Desakan pengendara
lain di kanan kirinya semakin membuatnya gugup
Sabar dan sabar... pak
becak mencoba mengendalikan pedal emasnya
Becak seolah tak tau
diri, tak tau keluhan yang ada diatas tiga roda itu
Bagai sorang anak yang
ngambek, karena keinginannya tak dipatuti
Cengak-cenguk
menangis
Seperti halnya anak
pada umumnya,
Ada kemauan, pastilah
ngambek itu hilang begitu saja
Si ayah berhasil
merayu si anak,
Pak becak dengan sabar
mengayuh pedal,
Perlahan ketiga roda
itu pun berjalan dengan arahan sang Ayah
Angin
di Tepi Sudut Kota
Oleh
: Asha Lestari (20/05/12)
Dingin sore itu,
menghalau hasrat kepulanganku
Bukan dingin karena
hujan yang telah bergegas
Bukan pula karena
adanya salju yang enggan mencair
Mana mungkin ada salju
di zamrud khatulistiwa?
Dingin ini lebih
mengesankan... lebih membawa suka...
Lebih menentramkan,
Dingin angin...
Kesukaan bagi orang
yang terlalu jenuh
Angin itu, salah satu
elemen alam yang harus disyukuri
Anginlah ang membaw
ketenangan
Walaupun hanya sesaat,
Tapi dia memberikanku
kesempatan untuk merasakan
Kosong pada otak ini
Candu yang menguatkan
Di sudut kota ini,
angin begitu aneh
Aku membutuhkannya,
karena itu aku cinta
Aku berdiri seolah
hanya ada aku dan angin
Angin yang begitu
banyak,
Di pinggiran tanah
hijau,
Di barat laut kota
Purbaingga, ada tempat ini
Tempat yang anginnya
membetahkan
dibawah nyiur
tingginya dua kaki
Angin semakin terasa
dekat, di tepi sudut kota
Seketika
Oleh : Asha Lestari (22-10-12)
Seonggok
bambu yang patah terinjak
Terpelanting
ke salah satu ujung jalan besar itu
Terseok
kesana-kemari
Panasnya
aspal membuat orang-orang berlari
Berlari
sesegera mungkin ke tempat rindang nan teduh
Langit
nampak biru pucat,
Awan
bersiul-siul memanggil sekawannya
Bersatu
di salah satu sudut kota tua
Potongan
bambu itu, tanpa kawan, tanpa famili
Sendiri,
Tergeletak
diatas panasnya ranah dunia yang hampir hancur
Terpelanting
oleh roda-roda kendaraan
Yang
sama hitamnya dengan aspal
Langit
bersiap untuk berpesta,
Menyalakan
lampu-lampu disko
Sound
system bak Sangkakala milik Izroil telah terpasang
Terompet
tanda pesta telah ditiupkan
Menghasilkan
suara gemuruh
Diatas
para orang-orang sawah dengan cangkul di pundaknya
Dan
Yak!
Seketika,
tubuh bambu itu basah
Seketika,
aspal panas menguapkan aromanya
Aroma
kerinduan akan air
Seketika,
orang-orang berteduh semakin akeh
Seketika,
awan terus bersiul menggetarkan petir
Seketika,
roda kendaraan bersih mengkilap
Seketika,
para orang-orang sawah mempercepat langkahnya
diatas
tanah, dibawah caping
Seketika,
air jatuh dari langit yang pucat
karunia
dari Bos-nya Izroil
Tidak ada komentar:
Posting Komentar