Rabu, 27 November 2013

Doa Keramat

Mengapa di setiap sudut tak ada damai
Damai yang berujung hanya pada ujung jari
Menapaki waktu, yang begitu cepat
Tak ada tang terlewat

Diriku begitu mlarat
Hanya diam dalam hati mengumpa
Lagaknya seorang penghianat
Bodoh yang teramat
Membuat akal sehatku terlumat

Tak ada damai yang tersisa
Dari kening-kening berkeringat
Mematri beribu gara terpahat
Menjadi suatu alat
Tanda bukti seorang penghianat

Mengapa hanya ada aku di sudut cokelat?
Merapatkan diri di sudut ber-ramat
Mengumpat pada diri
Umpatan yang menjadi doa keramat

Rabu, 06 November 2013

PUISI

Lama tak bersua dengannya
Ada rasa rindu
Kehangatan sensasinya
Dekapan serasa membuncahkan rasa, membunuh akal pikir
Kangen,
Rasa kangen yang kurindukan
Memusnahkan kewarasan
Teringat ketika,
kau jamah jiwaku
memunculkan sebuah sensasi hadirnya dalam dada
menaikkan suhu darah dalam badan
Seperti stimulan kau menyegarkan aku yang haus akan sensasi
Pemuas nafsu birahi…
jariku
Girahku semakin memuncak
Lagi, lagi, dan ingin lagi
Tak pernah ingin kuberhenti
Karena gejoka nafsu ini semakin menjadi-jadi
Kala pena dalam kempitan jemari
khayalan yang tak ubahnya hanya muncul dalam mimpi
Tiba-tiba terbit bak mentari
Mengubah sendi kaku menjadi suatu seni
dan itulah yang kumaksud
gairahku berpuisi
oleh : Asha Lestari
(Purbalingga, 4 November 2013)

Meditation of Me

Ketika mencari suatu kenyamanan diri, seseorang lebih suka memilih menyendiri. Berada di sudut rileks yang hanya kita yang tahu apa makna dari kesendirian itu.
Terkadang memang terkesan menghabiskan waktu ketika kita menyendiri. Tapi, hal itu perlu. Sekadar untuk introspeksi, meditasi, evaluasi. 
Dalam keadaan di alam bawah sadar, kita (saya) sering membayangkan berada pada posisi yang paling kecil di dunia ini. Kadang membayangkan kalau saya menjadi angin, menjadi cahaya ampu di pinggiran jalan, menjadi debu, menjadi tangkai bunga yang hampir patah, menjadi dandelion kecil. Meditasi tidak melulu dengan hal-hal berat cukup dengan menghirup hembus angin, merasakan wangi mawar, berada di bawah rintik gerimis, melihat lampu di malam hari, mencari kunang-kunang. Cukup dengan hal-hal kecil.



Membuat diri ini berarti dimulai dari diri sendiri. Meskipun hanya hal kecil, tapi itu membahagiakan diri, cukup untuk mengobati prasangka buruk pada diri sendiri.




Rabu, 02 Oktober 2013

-no title-


dalam panasnya api cemburu yang membara,
yang ada hanya dengki, yang menyatu menjadi suatu ego
api yang perlahan melahap cinta demi cinta yang pernah ada,
meranggas semua bibit-bibit yang telah tertanam
hanya saja, aku, kamu
hanyalah sebuah proyeksi masa lalu
yang memang telah lalu
tapi api itu terus berkobar,
seiring dengan rasa cinta yang sangat teramat tak bisa dibendung
detik demi detik rasa itu begitu nyata, bahkan telah mengakar berang mencengkeram seisi batinku
sungguhpun dusta tak kupungkiri,
bahwa aku masih tetap kepadamu
namun, itu hanyalah proyeksi yang tercipta dan mengakar dalam pola pikirku yang memang naif
begitu naifnya, aku merasa bak tak sudi akui rasa itu,
rasa yang sesungguhnya selalu ku siram dengan segenggam ayat-ayat suci sabda ilahi....

november 26th, 2011

Cerita Hari Ini

Entah apa yang menimpa ku hari ini, dan entah dewa mana yang mengutuk ku hari ini. Sumpah ini hari sial banget. Selasa Pon. Ada apa dengan Selasa Pon? Engga ada apa-apa sih kayaknya.

Tapi Selasa ini emang banyak banget pelajaran yang bisa kalian ambil dari cerita hidup aku yang terlanjur seperti ini.

Jadi gini, hari ini Selasa, 01 Oktober 2013. Aku bangun jam 00.30. Wow! Gasiknya.. Ngapain coba aku bangun? Pengen buru-buru ke kamar mandi dan p**p. (Aduh pliss banget malem-malem gini ya?)
Susah payah meraih kamar mandi terdekat, dan ternyata yang keluar dari belakang apa coba? Cairan. Owalah pantes, seperti tidak bisa ritual ini diganggu gugat atau ditunda untuk beberapa jam saja. 

*tidur lagi*

Alarm bunyi jam 03.15 dengan lagu favoritku "Indonesia Raya" memecah keheningan pagi para anak kos terutama yang kamarnya sebelahan kamarku. Bisa jadi dalam mimpi, mereka bermimpi sedang upacara bendera ala-ala anak SMA gara-gara denger alarm kerenku itu. Tapi anehnya, yang punya itu tidak mendengar sama sekali. Dan malah bukan bermimpi upacara, malah mimpi dikejar setan *ampun*.

*tidur lagi*

Berikutnya 05.30. Refleks ambil air wudu. *subhanalloh*

*tidur lagi*

Ah, parah banget nih sumpah ya. Dan asal kalian tau. Hari ini matkul pindahan olah raga. Hellow, jam 06.30 harus udah di Stadion UNDIP.
06.00 : akhirnya memutuskan untuk mengambil handuk dan secepat kilat menuju kamar mandi. Untuuuung aja airnya masih full. Kalo engga, jaminan engga mandi deh aku.

Sip. Sudah mandi berkualitas cukup dengan rentang waktu lima menit saja. Mati! Baju belum disetrika. Dan saya pun mengenakan kaos OR yang belum disetrika. 

Tidak sarapan. Menunggu jemputan saya tercinta di depan gerbang kos. Dan yak 06.37 bro! Mana jemputan saya? Dia datang 06.42. Alhamdulillah dia masih mau datang. Daripada nantinya saya jalan?

*di Stadion*

engieeeng. ada apa pemirsah? Gerbang stadion sudah dikunci oleh salah seorang guru olahraga. eghem (berlagak mau nyepik). tidak berhasil pemirsa. Kami (aku, putri, sandra) dan beberapa mahasiswa teknik elektro menemukan sebah jalan sambung, yang bisa membawa kami menuju ke dalam stadion. Tapi medan sangat berat, dan saya tidak sanggup memanjatnya karena pantat saya teralu over capacity. 
Setelah dua teman saya berhasil memasuki areal stadion. Ada pak dosen yang tahu. Toweeeng. Yap! Mereka yang tertangkap basah mendapat hukuman untuk melompati pagar itu lagi sepuluh kaliii sepuluh kaliiii woi! Yang bener aja. Udah gitu dikata maling. 

Kasihan. Pengen ketawa *itu ngga mungkin*. Yang jelas aku kasihan banget sama mereka berdua, mereka mau membela keadilan kami demi absen eh, malah mereka yang kena. 

Dan kami pulang dengan tangan mereka yang biru-biru layaknya dipukuli orang. *sedih*

Okay. Itu tentang stadion. Saya rasa cukup.

Selanjutnya, ketika kami (aku, Putri, Khaira, Yuyun) sedang berusaha mencari toko baju yang murah. Sial datang lagi. Motor yang aku tunggangi sama Putri, diserempet orang. Dan well, kita jatuh. Putri lecet, kakinya harus diperban pake perban biasa si. Dan itu perih banget, sampai tulangnya aja keliatan.

Dan setelah diteliti ternyata hari ini adalah hari Kesaktian Pancasila, Ulang Tahun UNDIP ke-56, dan Hari jadian saya satu tahun lalu. *pliis udah putus*

::penelitian diatas engga nyambung deh kayaknya masa kita merayakan itu semua dengan hal yang konyol?::

Intinya hari ini gokil, dan ngga akan dilupain dalam sejarah pertemanan kita.
Keep Smile! :)

Selasa, 01 Oktober 2013

No Title

Aku berharap takkan terjadi lagi
Cerita cinta antara kau dan aku
Luka hati yang membekas di hati ini
Menyisakan luka goresan hati

Reff:
Tuhan dengarkan doa dari jiwa yang lemah
Dari dalam lubuk hatiku
Tuhan berikan kuat
Pada hati yang telah tersakiti
Berikan maaf pada dia yang telah sakiti


NB :
lagu pertama yang partiturnya belum selesai, liriknya gaje, dan nadanya juga aneh. Dibuat iseng, karena sesuatu hal yang udah sangat nyesek di hati sehingga menciptakan satu karya ini. 

Jumat, 20 September 2013

Atau Mungkin Sudah Biasa?


Deru suara metromini,
masih berdengung dalam ruang tingkap di dalam telingaku
Aku dan beberapa penumpang
duduk dengan arah pikiran masing-masing
Pucat, keringat, penat

Kami semua tercengang memandang kondektur metromini
Sangat pintar bicaranya,
Bicara logat preman terminal
Tubuhnya besar, bahkan lebih lebar dari tubuhku
Tidak tinggi, sebahuku...
Kaos hitam yang dikenakan, semakin menutupi keasliannya

Usianya tujuh tahun lebih muda dariku
Tunggu! Apa yang dikerjakan anak itu di waktu belajar?
Bertransaksi, mentujuh kali lipatkan tarif satu jalan pada malam itu
Sangat menyebalkan, seperti ulah preman pasar yang semena-mena
Aku bergumam sendiri,
Siapa yang mengajarkannya?
Apakah gurunya di sekolah?
Atau ayahnya, kawannya? Atau siapa?
Guru tidak akan mendidik siswanya menjadi preman!
menurut yang pernah kudengar seperti itu
Ayah? Ah masa, seorang ayah ... Tidak mungkin!
Kawannya? Mungkin saja iya, tapi kawannya itu, siapa pula yang mengajarkan?
Kubuang pelan, semua pemikiran buruk itu
Kubiarkan prasangkaku terhempas bersama angin malam
dari jendela yang banyak butir-butir bening

Wanita diseberangku mengajaknya bicara,
Kupasang kuping, meskipun tak terdengar jelas
Benar.. dia tidak bersekolah, bekerja bersama ayahnya
Ketika anak lain menikmati gembar-gembor dana subsidi pendidikan
Dia asyik berkutat dengan dolanannya
yang lebih mirp dolanan orang limabelas tahun lebih tua darinya
semuda itu? Mencari uang? Lilitan ekonomi
aku tak menjamin, apa aku sudah bisa?
Sekadar mendapatkan ongkos jasa untuk metromini malam itu pun, belum tentu ku bisa mencarinya
DENGAN KERINGATKU SENDIRI!

Hei! Apa hanya dia satu-satunya?
Apa ada yag lain?
Atau masih banyak?
Jikalau masih banyak,
Apa anak-anak itu tidak lelah?
Bagi komunitas mereka lelah, MUNGKIN SUDAH BIASA?

Inikah salah satu pertanda?
                   Semakin bobroknya sistem di negeri ini?

Sebuah Kisah di Tengah Penantian Mata Bola


Bertahan di tempat itu menunggu datangnya si mata bola

Sepasang mata yang sorotnya tajam, terlain di hari petang
Sepasang mata yang sorotnya menembus rintik-rintik air kehidupan
Sepasang mata yang sorotnya harus nampak pula pada siang hari
Sepasang mata yang terkadang nakal tak mau mendelik ketika siang datang

“Mba... lenggah mriki... ngaub...”
terdengar suara lirih dari balik gerobak bertuliskan
MARTABAK MANIS, MARTABAK TELOR
Nafas terhempas setelah menjatuhkan
tubuh ringkih ini pada bangku kayu kumal
Gelap, basah, dingin
Kupandang langit-langit ruko diatasku
Terlihat indah...
Air hujan jatuh berentet, mirip serbuk bunga dendalion
Menari dibawah kilauan lampu penerangan jalan

Tercium bau yang menggoyangkan dinding-dinding lambung
menimbulkan bunyi, pertanda dia butuh asupan
Jlantah martabak telur, aromanya menggiurkan...

Seorang tua yang ketika itu berdiri di tempat itu,
Menimbulkan simpatik tersendiri bagi orang yang melintas
“Kondur pundi Mba?” muncul pertanyaan
“Bocari, Pak.”
Jawaban yang sama,
untuk pertanyaan yang sama,
dari orang yang sama pula
Mungkin beliau lalai, dengan euforia itu
Tapi satu hal yang aku soroti, beliau tidak akan lupa untuk tunaikan kewajiban

Pernah sesekali kulihat, masih berada di sudut yang sama
Ketika tak ada satupun pembeli yang melik dengan dagangannya
Taukah kau, apa pegangan beliau?
Sebuah buku, wara kertasnya yang kecokelatan menandakan itu buku tua
Kutengarai itu adalah kitab buta, tanpa swara

Mimiknya yang penuh kepasrahan
Semakin membuatku tertegun
Ku dera, dalam hati beliau berkata
“Yang penting rezekine halal, sepiraha ya ora papa..

Bertahan hidup  memang susah, sulit, dan rumit
Akan lebih rumit ketika kita hidup tak dapat apa-apa
Dunia belum seberapa, akhiratlah tujuan hidup

Aku semakin merasa,
“Tuhan begitu jauh aku denganmu, ditengah semua kerumitan ini”

“Pemalang... Pemalang...”
Aku tersadar dari simphoni khayalku
Si mata bola telah datang,
siap untuk menghantar penumpang-penumpang malam